Pengantar Kurator Bentara Budaya

Film, Cermin Zaman dan Pemikiran

Putu Fajar ArcanaTidak salah kalau film dikategorikan sebagai seni paling populer dan  realistik. Ia mengungkapkan sesuatu dengan cara yang paling dekat dengan kehidupan kita sehari-hari. Tetapi, tetap harus dicatat, film bukan kehidupan sehari-hari itu sendiri. Ia lahir dari satu proses kerja imajinasi, perekaman, dan editing. Dengan begitu gambar-gambar dan peristiwa yang ditayangkan di dalamnya, merupakan suatu hasil kerja seleksi para pembuatnya.

Pada kondisi itu film hampir sama dengan seni lain semisal novel, cerita pendek, puisi, teater, tari, bahkan seni rupa. Sebab pada dasarnya semua kesenian adalah hasil dari satu proses seleksi seseorang terhadap peristiwa dan fenomena yang berserakan di sekitar kita. Bahkan jurnalistik juga melakukan hal yang sama. Fakta-fakta yang berserak itu diseleksi untuk kemudian disajikan dalam bentuk berita. Cuma film lebih sering dikategorikan sebagai seni populer, yang bisa masuk dalam berbagai kalangan. Ia lentur dan luluh dalam berbagai kebudayaan.

Kata kuncinya: kebudayaan populer. Jika Bentara Budaya Bali kemudian menggelar Bentara Budaya Bali International Film Festival, 30-31 Agustus dan 1-2 September 2013, tentu karena dari film kita bisa belajar berbagai latar belakang kebudayaan bangsa-bangsa di dunia pada suatu masa. Tidak salah kalau film-film yang dipilih seperti Cinema Paradiso (Giuseppe Tornatore, Italia), Good Bye, Lenin! (Wolfgang Becker, Jerman), Rashomon (Akira Kurusawa, Jepang), Darah dan Doa (Usmar Ismail, Indonesia), A Very Long Engagement (Jean-Pierre Jeaunet, Perancis), Turtles Can Fly (Bahman Ghobadi, Iran),  serta beberapa film lain. Film-film ini sebagian besar memiliki makna yang spesifik, karena dari padanya kita bisa memotret kondisi psiko-sosial suatu bangsa, saat film-film itu diciptakan.

Tornatore memotret kondisi sosial masyarakat Italia, melalui sebuah desa di Sisilia. Uniknya, potret itu terhadirkan lewat sejarah sebuah gedung bioskop di desa itu. Tornatore berhasil menghadirkan dinamika perkembangan sejak masa bioskop tradisional yang penuh kehangatan sampai bioskop modern yang lebih individual. Di situ kita bisa belajar sejarah sosial masyarakat Italia dari kacamata yang tidak biasa. Tidak terdapat dalam buku teks sejarah, tetapi ditayangkan lewat  gambar hidup di layar film.

Lewat tangan sutradara Iran, Bahman Ghobadi kita bisa memotret situasi yang begitu menekan di satu desa pengungsian suku Kurdi. Di situ kehidupan anak-anak seperti “bermain-main” dengan bahaya. Di kamp pengungsian mereka menghidupi diri dengan menjadi penggali ranjau darat. Ghobadi memberi gambaran betapa situasi perang, pertama-tama telah menyuramkan masa depan anak-anak di kawasan Teluk.

Kita semua pasti “mencibir” ketika film-film kita sebagian besar bertahan karena memainkan tokoh-tokoh seperti Kuntilanak, Pocong, dan Jenglot. Pertama, film-film jenis ini bisa survive karena para produser tak perlu membayar para hantu sebagai pemeran. Itu pasti satu guyonan yang sinis. Kedua, cobalah menyelam lebih dalam ke dasar psikologi kolektif masyarakat Nusantara. Sebagian besar dari kita, setidaknya pernah ditakut-takuti dimakan Kuntilanak atau Pocong, hanya untuk melarang kita melakukan sesuatu yang tidak diperbolehkan.

Diam-diam cara pelarangan oleh orangtua kita sejak kecil itu, mengendap ke dasar jiwa. Dan kemudian cerita-cerita seputar hantu terus-menerus dipelihara secara kolektif oleh masyarakat kita. Bahkan ketika para orangtua tak punya waktu lagi menceritakan kisah hantu itu, para produser dan sutradara mengambil-alihnya dengan menyajikan cerita serupa ke layar perak. Kita semua takut, tetapi tidak kapok menontonnya. Itu satu bukti cukup kuat, bahwa film selalu menjadi cermin paling transparan psikologi sosial satu masyarakat.

***

Lewat film kita tidak saja belajar tentang keadaan sekelompok masyarakat, tetapi gambar-gambar itu seolah menyodorkan perasaan terdalam dari satu komunitas masyarakat. Dan uniknya, perasaan itu kita tangkap pula dengan rasa yang dalam. Jangan heran kalau seusai menonton film sedih, tanpa sadar kita turut meneteskan air mata. Bahkan banyak penonton yang sesenggukan di dalam gedung bioskop.

Entah mengapa gambar, terutama film, selalu lebih cepat melekat di dalam ingatan kolektif bangsa-bangsa di dunia. Dan tentu kita semua sudah mencatatnya, bagaimana wayang menjadi media paling populer untuk mengajarkan etika dan filosofi sejak masa Hindu sampai masuknya Islam di Indonesia. Mengapa wayang? Barangkali karena teknologi perekaman gambar-gambar hidup belum ditemukan pada waktu itu.

Pada masa kontemporer bahkan film telah melampaui batas-batas kerja tim. Munculnya teknologi perekaman yang lebih pribadi seperti telepon seluler, telah membuat revolusi di dalam cara kita memproduksi dan mengkonsumsi film. Dalam situs seperti Youtube kita bisa melakukan pencarian sebuah kejadian yang melibatkan satu kelompok masyarakat dan bahkan peristiwa-peristiwa yang amat pribadi.

Seluruhnya, baik film cerita yang dibuat dengan perencanaan yang matang maupun gambar-gambar yang diunggah setiap detik di media sosial, adalah cerminan kondisi sosial dan pemikiran sekelompok masyarakat. Dan daripadanya kita bisa belajar banyak tentang sisi-sisi psikologis, sosiologis, sistem religi, dan kultural dalam kehidupan satu masyarakat dan individu. Di situ film menjadi media paling populer, lantaran dalam gambar-gambar itu kita bisa dengan serta-merta mengetahui segala sesuatunya. Semoga lewat festival ini kita bisa belajar lebih banyak dan dalam mengenai kebudayaan, cara berpikir dan bertindak bangsa-bangsa di dunia, yang dalam realitasnya jauh lebih maju dan makmur dari bangsa kita.

Putu Fajar Arcana
Redaktur Kebudayaan Kompas dan
Kurator Bentara Budaya

Tinggalkan komentar