Bali Tempo Doeloe #23 “MISTIS MAGIS BALI”

Kamis, 27 Februari 2020, pukul 19.00 WITA

Ketertarikan dunia Barat dan peneliti terhadap Bali bukan hanya karena keindahan alam atau seni tradisinya yang kuat, namun juga keberadaan beragam ritual dengan kedalaman nuansa mistis magis yang melestari hingga kini. Penyelenggaraan aktivitas adat istiadat dan keagamaan di pura, baik di desa dan wilayah perkotaan, memperlihatkan ritual-ritual yang sohor secara bentuk-bentuk estetikanya, namun juga menyimpan daya luwih-niskala, mempertautkan nilai kultural, religi, hingga wujud-wujud transedental.

Sejalan dengan transformasi sosial kultural, masyarakat pada hakekatnya mengalami perubahan dalam laku kebudayaannya, serta senantiasa memerlukan seperangkat simbol yang dapat membantu memahami kedalaman pengalaman yang melingkupi dunia sekala niskalanya. Dengan demikian, sisi-sisi mistis atau magis dan kerap bersifat mitologis, memperoleh tafsir baru yang sejalan dengan kekinian, tak jarang pula merefleksikan pengharapan atau nilai-nilai masa mendatang.

Masyarakat Bali meyakini para Dewa turun ke mayapada (dunia) atau betara turun kabeh melalui serangkaian fenomena yang ditandai nuansa mistis magis berikut kejadian trance – ini bermakna sebagai restu, berkah, ataupun ruwatan bagi masyarakat setempat menuju kehidupan yang lebih baik. Itulah sebabnya, ritual-ritual seperti ini dipercaya bertaut erat dengan spiritualitas, kesakralan serta bahkan lebih jauh, keharmonian antara kekuatan baik-buruk, antara dunia manusia dengan alam gaib para dewata dan deitya (roh halus maupun buta kala).

Program Bali Tempo Doeloe kali ini bekerja sama dengan Arsip Bali 1928 akan memutarkan film dokumenter terpilih dari seri Bali 1928 serta dipadukan dengan diskusi bersama para pengamat dan pemerhati budaya, yang akan memaknai perubahan kondisi Bali dari masa ke masa. Dialog tidak hanya mengetengahkan sisi eksotika dari Bali masa silam, melainkan juga menyoroti problematik yang menyertai pulau ini selama aneka kurun waktu, termasuk kemungkinan refleksinya bagi masa depan. Sebagai narasumber yakni Dr. Edward Herbst (etnomusikolog, peneliti utama Bali 1928) dan Drs. I Dewa Gede Windu Sancaya, M.Hum (budayawan, akademisi).

Dr. Edward Herbst, pertama kali mengunjungi Bali pada tahun 1972 sembari menyelesaikan studi B.A. di Bennington College dan dibiayai oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) selama setahun untuk mempelajari gendér wayang dan palégongan dari I Madé Gerindem di Teges Kanginan, praktik pembuatan dan akustik gong di Tihingan, Klungkung, dan keterhubungan gamelan dan dramatari. Ia belajar dari I Nyoman Kakul, master gambuh, baris, dan topéng. Pada tahun 1980-1981, Herbst mendapat hibah dari Fulbright-Hays untuk mempelajari dan meneliti pementasan musik vokal dengan gamelan dan dramatari di Bali selama lima belas bulan, berguru di antaranya dengan I Madé Pasek Tempo dari Tampaksiring, Ni Nyoman Candri, Wayan Rangkus dan Pandé Madé Kenyir dari Singapadu, serta I Ketut Rinda dari Blahbatuh. Herbst ditugaskan oleh sanggar teater-tari eksperimental Indonesia di bawah pimpinan Sardono Kusumo untuk berkolaborasi sebagai komponis dan vokal tunggal dalam Maha Buta di Swiss dan Mexico serta dalam film karya Sardono, The Sorceress of Dirah, di Indonesia. Setelah meraih Ph.D dalam bidang Etnomusikologi dari Wesleyan University, Herbst kembali berada di Bali selama empat bulan pada tahun 1992 untuk menyelesaikan penelitian untuk buku Voices in Bali: Energies and Perceptions in Vocal Music and Dance Theater. Saat ini ia adalah peneliti senior di Department of Anthropology, Hunter College – City University of New York.

Drs. I Dewa Gede Windu Sancaya, M.Hum. dosen Sastra Bali Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Udayana ini juga adalah sastrawan peraih Penghargaan Sastra Rancage, melalui buku kumpulan puisi berbahasa Bali “Coffe Shop”. Dosen yang tengah menyelesaikan program doktornya ini dikenal sebagai sastrawan bahasa Bali dengan tema-tema karya yang mencoba mengangkat peralihan antara masyarakat Bali yang agraris-komunal menuju era industri yang lebih individual. Ia juga aktif di berbagai organisasi sosial budaya di Bali, turut membina perkembangan susastra di Bali, termasuk aktif di lembaga-lembaga pemberdayaan masyarakat, khususnya di Bina Antara Budaya, yang menyiapkan pelajar atau mahasiswa Bali untuk berkesempatan memperoleh beasiswa belajar ke Amerika, Eropa dan beberapa negara Asia. Ia juga sering bertindak sebagai editor buku.

Tinggalkan komentar